
ADA SURGA DIUJUNG JAWA
lintasan I-berlari dengan cahaya matahari, dan mencoba menikmati secangkir kopi
Pagi belum sepenuhnya menghilang saat menatap jendela kamar. Subuh Kabut tipis menyelimuti pepohonan, seolah bandung masih bermimpi. Dengan ransel eiger disebelah, rasa sedang menanti perjalanan mendaki tinggi dipegunungan , namun jejak liong bulan dimeja memberikan energi semesta , berlomba dengan matahari, bandung lautan api titik keberangkatan…. melangkah menuju lautan surga yaitu “karimun jawa” ,

lintasan 2 – laju roda tidak bisa merubah atau menggantikan waktu, setiap detiknya dunia berharga
Bus melaju pelan, melintas jalan penuh kemacetan. . Setiap tikungan adalah janji tentang tempat baru. Ia menulis di diary: “Senja nanti akan berbeda—lebih berani, lebih liar.”

lintasan 3 – sarapan memberikan harapan, dibalik sang dermawan
Semarang menyambut dengan gemerlap warna dan aroma kuliner. Degup jantungnya menguat saat ia melangkah di lorong Kota Lama, memotret bangunan tua yang bercerita. Di sebuah warung kecil, sepiring mie kopyok hangat membuat perut dan hati merasakan kenyamanan. Sebuah peta kecil tergelar di atas meja—menuju dermaga, menuju laut.

lintasan 4 – gelombang hanya memabukan bagi mereka yang bertahan, melawan keraguan
Kapal menyambutnya dengan suara mesin dan aroma minyak. Laut Jawa terbentang luas—birunya hati ikut bergelora. Ombak berganti naik-turun dengan gelombangnya, menguji nyalinya. Setiap cipratan air asin seolah menantang: “Boleh takut, tapi jangan mundur.” Di dek, bertahan—melawan mual dan keraguan demi satu tujuan: tepi pasir putih di ujung mimpi.


lintasan 5 – titik tidak bisa menjadikan tinta, begitupun rasa tidak bisa menjadikan cinta, namun bisa jika sebaliknya bukan
Saat kaki akhirnya menginjak pasir Karimunjawa, waktu serasa berhenti. Langit seolah memperlambat senyum—biru lebih biru, putih awan lebih puitis. berdiri terpaku, merasakan setiap butir pasir di sela jemari. Inilah titik balik—di sini ia bukan lagi pelancong; ia telah menjadi penjelajah rasa.


lintasan 6 – jika tujuh laut jadi tinta dan pepohonan menjadi pena , tidak habis menuliskan keindahan laut yang berbisik indah
Dengan masker dan snorkel, menyelam. Hening air membisikan rahasia terumbu karang. Ia menatap sekumpulan ikan badut yang menari di antara kehidupan bawah laut—seperti pertunjukan personal, tanpa penonton, tanpa sorotan lampu. Setiap gerakan terasa sakral, menenun kisah tentang keberanian dan keindahan yang tersembunyi.


lintasan 7 – Api unggun dikala senja idak sekedar kehangatan
Senja menutup hari, namun panggung justru dibuka. berdiri melingkari api unggun kecil. Kerlip api memantulkan bayangan di wajah–wajah lelah tapi penuh kepuasan. Suara ombak menjadi simfoni malam, sementara gitar mengiringi tiap lirik tentang perjalanan dan kerinduan pertemuan, persaudaraan, mimpi dan harapan.


lintasan 8 – cukup bukit saja untuk di daki, tidak untuk cinta
Menembus jalan setapak menuju bukit cinta. keringat jadi harga kecil untuk panorama hijau yang membentang. Di puncak, menghela napas panjang, menatap laut biru memenuhi cakrawala. “Perjalanan ini,” bisiknya, “bukan sekadar perpindahan tempat—tapi perpindahan jiwa.”


lintasan 9 – Pulang dengan Duka dan Lukisan
Saat kapal kembali mengantar ke dermaga Semarang, ia membawa duka, kursi habis tak tersisa —tanda petualangan nyata. duduk bersandar diatas geladak kapal menerjang ombak membasahi sekujur badan. bertahan – melawan namun tak tertahankan, terjatuh lalu berdiri dalam gelombang lautan , satu kantung pelastik mengembalikan seisi perut, Namun yang paling berharga adalah lukisan di dalam hati: lukisan pasir putih, riak laut, hangatnya api, dan kerlip bintang di malam tanpa kota. Bandung menanti di ujung rel, membawa ia pulang; tapi Karimunjawa telah mencuri sepotong jiwanya untuk selamanya.

terimakasih atas supportnya waka pimpinan baznas kbb & keluarga , keluarga citades foundation, keluarga baznas kbb – visit cita tour travel